Jumat, 12 September 2014

untuk senyawaku


Hai sayang, saat kau membaca surat ini.
Ya, tentu saja aku sudah bersamamu.
Membuatkanku kopi tiap pagi, menyiapkan
sarapan dan merapikan bajuku dan segala
tindakan menyenangkan lain.

Tahukah kamu, saat ini apa yang aku rasakan?
Ya.. Saat ini aku memang sedang berada di
sebuah jalan bernama penantian.
Menanti kita berjumpa di sebuah persimpangan
dan lalu menempuh jalan yang sama hingga
merenta dan menutup usia.

Aku di saat ini belum tahu seperti apa rupamu,
apakah kau mancung, pesek dll.
Tapi yang jelas, ketika kau membaca ini,
sungguh aku tak peduli. Hidungmu ~ nafas yang
keluar dari situ sudah menjadi bagian dari
nyawaku.

Aku di saat ini mungkin belum tahu jelas
bagaimana suaramu,
tapi aku yakin saat kau baca surat ini. Suaramu
adalah nada terindah yang kuingin selalu tertiup di telingaku.

Aku di saat ini mungkin belum tau bagaimana
bentuk matamu,
tapi aku yakin saat kaubaca ini. Matamu adalah
pancaran sinar, yang menerangkan setiap
langkahku.

Oh, kekasih hati sampai mati.

Saat aku menulis ini, aku memang masih sendiri,
tapi tak mengapa.
Aku menikmati masa ini, karena akan ada ribuan
hari yang akan kujalani dengan tak sendiri nanti.
Ya, bersamamu tentunya. Sedetik kutunggu,
selangkah kau mendatangiku.
Bersamaan itu, kusiapkan hati agar kau tahu.
Aku selalu menjaganya hati-hati. Untukmu.

Saat kau membaca ini. Kau, satu-satunya yang
kutunggu.
Terima kasih atas segala waktu yang terlewati.
Aku mencintaimu, dari dulu, kini, dan nanti.

Salam sayang, dariku kini. Senyawamu, bertahun tahun lalu.
-hendrik haryono-

-nb : setelah kamu membaca surat ini cium lah aku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar