Senin, 22 September 2014

Pergimu adalah matiku

Berat mengubah sikap, sebab demi Tuhan
rasa ini masih sama. Memandang wajahmu
aku tak sudi. Oh, jangan sampai di
hadapanmu aku meneteskan airmata.
Mengertilah, aku lelaki yang benci
menangis. Mengertilah, telah semampunya
aku tak ingin melihatmu lagi. Sementara
waktu telah menyeretku jauh dari ragamu.
Aku masih saja benci menjadi aku yang
berharap kembali di detik-detik itu.

Di pelukanmu.

Betapa pesta yang sia-sia. Ria yang
percuma. Pada tiap esok yang kupunya,
hanya akan ada satu tanya: kau di mana?
Sesungguhnya, aku ingin sekali lagi berkata
ya. Namun, tiada pintamu datang
kepadaku. Mungkin aku hanya terlalu
sering berpikir tentang suatu hari, yang
tidak akan pernah datang.

Tidak seharusnya kita menyesaatkan ini
semua. Aku masih menyesali itu. Ada rasa
rindu kepada aku yang dulu, aku yang tak
kenal kau. Sebab dari kehilanganmu aku
menemukan persamaan antara udara dan
bebutiran. Aku telah hancur, tubuhku
mengurus. Jiwaku mengurasku. Telah
kujadikan kakiku seringan kapas, supaya
aku tak dapat lagi memahami langkahku.
Tetapi, aku tidak dapat melambatkan
dunia.

Sekarang bantulah semua orang, supaya
membenciku. Kau tidak sendiri. Aku telah
menjadi orang lain. Aku yang dulu, yang
kau cintai itu, sudah tiada.

Jurang telah memanggil seluruh aku yang
tanpa kau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar