Kamis, 11 September 2014

hilang sendiri


Jujur saja, belakangan aku merasakan
keresahan yang hebat tentang siapa diri
ini. Ada tanya-tanya yang kupaksa
terjawab dengan segera. Ada kata-kata
yang tak kutemukan indah dalam kepala.
Separuh diriku bagaikan dicuri, atau
mungkin aku telah menjadi aku yang baru,
yang di hadapan cermin aku merasa asing.
Atau yang lebih ngeri, telah lama hinggap
di dalam diriku dua pribadi, dan salah
satunya sedang terkurung dalam gulita.
Apakah aku telah menjadi hantu bagi diriku
yang sekarang? Ataukah aku mulai
menuhankan seuntai masalalu? Ini bukan
tentang entah siapa aku sebenarnya,
melainkan entah mengapa aku tidak apa
adanya.

Ke mana gairah berpuisi itu pergi? Di mana
sukacita dalam bercerita itu sembunyi? Ke
mana semangat merangkai sajak itu lari?
Di mana aku bisa duduk manis, kemudian
mendapatkan kemampuan untuk kembali
membuat tulisan dapat mengalir tanpa
henti? Aku rindu menahkodai kapal imaji
yang mengangkut segudang kisah dan
perumpamaan, menembus tiap-tiap
gelombang tanya, lalu menjelajah dunia,
berlabuh di pulau-pulau cinta, begitu dari
waktu ke waktu, hingga tiba saatnya aku
karam dan ditelan samudera yang penuh
doa. Itulah rinduku, sebab sudah banyak
hari telah kulewati, bahkan hati, namun tak
ada satu penggal pun cerita mampu
kubagi, tak satu menit pun jemari ini
sanggup menari.


Kurasakan, aku kehilangan sesuatu, dan itu
bagian penting dalam diriku. Suatu malam,
ketika aku terjebak di keheningan, aku tak
kuasa menahan gelisah, dan berjuta huruf
lari berhamburan di dalam kepala, terjadi
kekacuan pikiran. Tiada lain dapat
kulakukan selain menjeritkan hati berkali-
kali, hingga tak kusadari ada jeritan yang
melesat jauh sampai terkurung di satu
kekosongan, suatu tempat yang dulu
merupakan rumah bagi kata-kata dapat
hidup tentram. Oleh karena itu akhirnya
kusadari, bahwa menulislah yang menjadi
bagian penting di dalam hidupku, yang
telah lama kutinggalkan. Aku meninggalkan
menulis terlalu lama, dan ternyata itu
membuatku menyusahkan diri, membuatku
jauh dari aku apa adanya.

Nikmat-nikmat baru datang hampiri hidup.
Tak kusadari, ada di antaranya bukan
untukku, tak kupikirkan ada yang dapat
memberatkanku, bahkan
mempermalukanku. Telah kupaksakan diri
menampung semua, membuat diriku
dipenuhi oleh keinginan-keinginan belaka.
Aku pun menjadi seperti rakus akan segala
warna. Aku berusaha mewarnai diriku
dengan sesuka, sampai pada akhirnya,
melihat diriku yang sebenarnya, aku
mendapatkan kesulitan. Aku telah tega
kepada diriku sendiri. Bersyukur aku
mendapat kesadaran ini.

Aku itu pencinta kata, demikian aku masih
bangga ada sebagian orang mengenalku
begitu. Namun apakah aku seorang
penulis? Aku tidak tahu. Apa aku harus
disebut penulis? Bisakah aku menulis saja?
Teman-teman, pada mulanya aku bahagia
setengah gila, ketika aku mendengar ada
orang menyebutku penulis. Aku menikmati
itu, aku bermegah di atas tulisanku sendiri.
Sampai tiba saatnya aku menyadari, bahwa
telah lama aku tidak menulis. Aku mulai
bertanya-tanya:
“Apa benar aku penulis? Bukankah penulis
itu menulis? Mengapa aku tidak menulis?
Pantaskah aku suka menulis?”

Memusingkan diri tentang siapa aku di
mata orang lain, ini adalah hal tak perlu
yang baru-baru ini agak rajin kulakukan.
Mungkin karena aku mengalami kaget,
yaitu ketika kurasakan kalau ada banyak
mata yang melihatku, lebih dari jumlah
nama yang tersimpan di ingatanku.
Padahal dulu, aku bukanlah siapa-siapa.
Ayahku mengingat namaku saja, itu sudah
lebih dari cukup. Tapi kini, aku merasa
sedang menjadi diri yang berdiri lebih jauh
dari apa yang kubayangkan. Di satu sisi,
aku merasa diriku ini beruntung. Di sisi
lain, aku merasa diriku mudah tuk
dipermalukan. Entahlah, tapi ini
kegundahan yang nyata-nyata terasa.
Sampai pada akhirnya aku khawatir sendiri,
kalau sekarang-sekarang aku tak lagi suka
pada tulisanku sendiri. Pada tulisanku,
kutemukan suasana yang tak
menyamankan orang. Seperti ketika
membaca tulisanku, orang akan menemui
celah untuk mencela, atau tersinggung.
Pada tulisanku, kutemukan suatu
kehambaran. Aku cemas, bila aku
memajang tulisanku, itu artinya aku
mendorong orang untuk membuang
waktunya demi hal yang tidak penting.
Sampai kapan perasaan negatif ini ada?
Aku tidak tahu. Aku sudah lama tidak
menulis panjang begini, mungkin
setahunan. Barangkali ini hanyalah sebuah
rasa kampungan ketika aku kembali lagi
pada aktivitas yang dulu pernah kulakukan
seringkali, dengan tanpa menuntut diri,
dengan tanpa menaruh peduli pada reaksi
orang. Atau mungkin rasa norak ini juga
buah dari akibat di mana aku pernah
dengan seenaknya memihak seseorang
lewat tulisan. Apapun itu, aku rindu
menulis dengan tanpa terbeban, aku ingin
menjadi diriku yang seutuhnya. Aku ingin
untuk tidak memusingkan lagi siapa aku di
mata orang lain, tetapi aku lebih ingin
merasa tulisanku boleh dilengkapkan oleh
segala macam penilaian. Aku ingin tak
peduli aku penulis atau bukan, aku hanya
ingin kembali menulis. Aku ingin
melahirkan karya-karya baru lewat tulisan,
aku terbeban untuk menghibur orang dari
caraku membagi pengalaman dan
pemikiran, bahkan khayalan. Semoga, akan
segera datang saatnya gairah menulisku ini
kembali terjaga, dan aku diberikan sukacita
yang lebih kuat dari apa yang pernah
kurasakan sebelumnya. Aku berterima
kasih untuk kalian semua. Sesungguhnya
kalian adalah hadiah yang besar untuk
orang seterbatas aku. Kiranya langkah-
langkah yang kecil menuju kembalinya aku
ini akan diindahkan. Demikian aku
berharap. Karena menulis itu aku, sejauh-
jauhnya aku berlari. Menulis itu aku,
selucu-lucunya aku sembunyi. Menulis itu
aku, setajam-tajamnya aku dimaki. Menulis
itu aku, seaneh-anehnya aku menari. Dan
menulis itu aku, setampan-tampannya aku
menjadi.


Spot B29 07.47 wib , kamis 11 september 2014

Posted at probolinggo 15.03 wib
Kamis 11 september 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar