Selasa, 26 Agustus 2014

sajak yang tak pernah selesai


Sajak ini ialah caraku menafsirkanmu
; sebuah kebingungan jelang tidur yang tak bisa
kujawab sendiri.
Sebab diingatanku, kau bayangan yang tak
ditenggelamkan gelap malam.
Kau telah menjelma duri tajam;
duri yang telah kuikhlaskan menancap,
ke dinding hati ketulusan.

Perihal pertama kebingunganku ialah wajahmu.
Bagaimana bisa hadirmu, ada di saat pejam
tidurku?
Kau serasa racun menyebar dalam diri, tak teraba
tapi terasa pasti.

Kau pil pahit merusak isi dada, terbuat dari
kenangan cantik kita berdua.

Ia mendadak menjelma kunang-kunang yang
bergerak tiada letihnya; terbang beterbaran
bermain di taman ingatan.
Entah gambaran apa ini? Mungkin ini yang
kemudian disebut orang sebagai kenangan.
Ia seolah mempunyai mata;
mata yang menyalak dalam gelap minta
diperhatikan.

Apa itu karena matamu dulu?
Mata yang kuingat paling cantik, tempat
meleburkan duka-hitam-pahit.
Ya, tatapanmu. Ia serupa pusat putaran rotasi
bumi, dimana pun aku pergi.
Padamulah arti pulangku kembali.
Matamu berair.
Sedihku hadir.

Ah, kenapa Tuhan ia tidak bisa keluar dari
pikiranku?
Aku seperti pintu yang terus menerus diketuk,
padahal pintu itu jelas sudah tertutup.

Bukankah kau Tuhan, selalu mengajarkanku
syukur?
Aku sudah menjalani apa yang bisa kujalani,
menanggung apa yang telah kusanggupi.

Sebab seperti pelukan dari belakang.
Kudiamkan lengan. Agar kau bukan lagi di
lingkaran-dekapan.

Kini tak apa aku menjadi abu, yang terbang agar
tanaman lain bisa tumbuh.
Sedangkan kau tungku api,
terserah menyala membakar entah sampai nanti.

Tapi mengapa ketika aku mulai bersyukur, selalu
muncul bayanganmu yang kufur.
Kamu begitu fasih mengelabui hati, mengganti arti
membahagiakan dengan melepaskan.
“Bahagia seperti apa itu?, hujatku dalam hati,
bukankah bahagia tak lebih dari gambar yang kita
ciptakan dalam kepala?
Sedang keterbatasanku. Bukankah ia cobaan?
Bukan, alasan kita saling melepaskan.”

Inilah membawa kebingunganku selanjutnya,
kita saling ‘melepas’ tapi mengapa bayangmu tak
tanggal lekas.
Selalu datang disaat jelang tidurku.
Bagaimana kau bisa disana, apa kau menungguku
tidur?
Selalu sesaatku perlahan memejam mata
kenanganmu pecah dalam kepala.
Ia menjelma pedang yang menghunus jantung,
lalu merobek-robeknya tanpa ampun.
Tidakah kau mengerti, hal itu membuatku perih?
Pasti itu karena senyummu?
Lengkungan yang kuingat paling memikat, tempat
isi ulang peluhku menjadi semangat.

kau kolam untukku tenggelam; tenggelam
menyelami mata air ketabahan.
Bius ampuh penghilang rasa sakit yang selalu
kuandalkan.
Kau muram.
Tawaku karam.

Sedangkan sentuhan kulitmu.
Ialah bumi dimana kuberpijak, langit yang
menerangi setiap tapak.
Kemanapun aku pergi, sebenarnya tetap kaulah
alam berlindung diri ini.

Peluhku jatuh, kau hadirkan angin sepoi sesaat.
Kumenangis, kau hadirkan hujan untuk
menutupinya cepat.
Kau udara, yang tak habis-habisnya tempatku
bergantung napas.
Tanpamu, hempaskanku ke jurang sedih tanpa
batas.

Karena tak ada terbayang di’angan’ku, untuk kau
jadi ‘angin’ lalu.
Dan kini kau memang berlalu.
Jauh.
Meninggalkan ragaku.

Kini kepakan kunang-kunang itu pun
mengangguku setiap malam.
Cahayanya gemintang, ia terbang berputar-putar
mengitari taman ingatan. dari tempat ke tempat.
Bekas tawa kita pecah melekat.
Pada mulanya kunang-kunang itu muncul di
mimpiku, di dalam tidurku, di pejam kedua
mataku.
Kemudian ia keluar dari tanganku; tangan yang
pernah kubalas sentuhanmu yang hangat.

Kini mereka terbang gentayangan. melayang di
kamarku. Kemudian dengan kompak membuat
konstelasi wajahmu yang manis. Lambat laun
kulihat muncul lehermu disana. Kemudian lengan
tanganmu.
Tangan dari tempatku bertahan, kekalahan hidup
pun tak apa jika pelukanmu ada setiap
kubutuhkan.
Dekap lengan yang setara embun pagi surga.
Masuk menyelinap mengugurkan perih cobaan
dunia.
Hingga kau benar-benar masuk dalam jiwa.
Merasuk, mengisi kekosonganku disana.

Kuingat, semua begitu terasa menyenangkan, saat
lenganmu merengkuh badan.
Tapi tidak saat kau tiba-tiba melepaskan,
dan tubuhku keburu tak mengetahui cara
bertahan.
Nah! mengertilah kamu apa yang kurasakan
sekarang.
Tapi jika itu kurang?
Tambahkanlah perasaan itu; perasaan sekarang
dengan sepi jelang tidurmu,
taburkanlah suasana gelap kamar tidurmu,
padukanlah juga dengan sunyimu.
Kemudian aduklah dengan kuat semua itu.
Pekat benarkan?
Sesaat sesak pun meruak.

Kini semua kunang-kunang terbang berhamburan;
di mejaku, tempat tidurku, Lemariku, sobekan
poto-poto kita yang lucu, dan tentu barang-
barang pemberianmu. Semuanya menyala bak
pasar malam.
Dan tentu wujudmu yang kini utuh dibuatnya.
Kulihat kau masih terpaku di depanku, lalu tak
lama kemudian kau tersenyum, dan melambaikan
tangan.
Aku pula tersenyum gemetaran.

Ah, kini kau makin menyelamiku lagi.
Bagaimana untuk berhenti.
Tuhan, entah apakah dengan berdoa seribu kali
ini akan terhenti?
Tapi bagaimana bisa, jika sudah mendarah
daging begini.

“Tolong pergilah kunang-kunang”, teriakku dalam
hati. Tapi kunang-kunang itu pun masih saja
keluar dari kepalaku, tanganku, mulutku dan
seluruh tubuhku.
Tidakkah kau tahu?
Tubuhku istirahat itu bukan untuk memikirkanmu.
Sungguh kebingungan ini tak bisa kujawab
sendiri.
Aku sudah letih.
Sesak.
Menanggungnya sendiri.

Oh Tuhan ini yang paling lagi aku tak sanggup,
apa cukup bersyukur ini akan selesai? Pun
ditambah doa dan sabar?
Rasanya tidak! karena air mataku ternyata tidak
sabar; tidak sabar berdoa agar selalu disyukuri
ketabahan.
Sebab
air mataku kutanyapun terjatuh, tak mengerti
hendak ia jatuh untuk apa dan siapa.
Akukah yang sebenarnya merindukanmu yang
pergi?
Atau semua ini tanda kau berpisah denganku;
Sebuah tanda kau pergi meninggalkan
tubuhku ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar